Sunday, April 27, 2008

Politik, Agama dan Orang Karo

Undang-undang Partai Politik, UU Pemilu dan UU Pilpres sudah dibuat, enam belas parpol yang memiliki kursi di DPR melaju secara otomatis pada pemilu 2009 mendatang, dan ditambah lagi partai-partai baru yang lolos diverifikasi oleh KPU. Sudah dapat diprediksi, bahwa dinamika perpolitikan di Indonesia sudah mulai menghangat, terlebih jadwal kampanye rencananya akan dipercepat.

Bagi sementara kita, memang melihat politik itu layaknya seperti sesuatu yang menakutkan dan berbahaya, syarat dengan prilaku jahat guna kepentingan pribadi dan kelompok. Sehingga tidak heran ada adigium dalam politik yang berkata, ‘tak ada teman yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi’. Ini semacam sentimen bahwa politik itu kejam dan kotor. Seolah-olah kekuasaan adalah tuhannnya. Demi mencapai tujuan ada orang yang rela berbuat bermacam cara.. Namun demikian, terbetik sebuah pertanyaan lagi di otak saya, bila politik itu memang kotor apakah saya rela dipimpin terus oleh orang-orang ‘kotor’? Yang menggerogoti hak-hak orang banyak yang seharusnya bukan miliknya. Untuk membersihkan politik itu dari gelimang noda, tentu dibutuhkan lebih banyak lagi orang bersih masuk ke dalamnya, sehingga semakin lama politik semakin beradap. Ibarat gelas berisi air kotor, untuk membersihkan isinya tuanglah air bersih sebanyak-banyaknya, lama-lama airnya menjadi jernih. Misi seperti ini telah sukses diusung beberapa partai seperti PKS. Pasca reformasi partai yang menyebut dirinya bersih ini menarik minat banyak simpatisan. Saya kira, diam atau golput bukan lagi jawaban di jaman sekarang. Kita perlu ambil bagian dalam setiap lini guna berpartisipasi menentukan segala arah kebijakan di negara kita ini.

Peran Politik Orang Karo
Orang Karo termasuk salah satu suku yang melek politik. Pernyataan ini tentu didukung oleh fakta, Sebelum kolonial menginjakkan kaki di dataran tinggi Karo, orang Karo sudah menciptakan sistem kepeminpinan sendiri berdasarkan adat-istiadat Karo dalam mengatur komunitasnya. Sibayak adalah peminpin tertingi yang membawahi beberapa urung. Urung membawahi babarapa kuta. Dahulu ada lima sibayak (kerajaan) yaitu : Sibayak Lingga, Sarinembah, Suka, Barus Jahe dan Kutabuluh. Untuk menjadi peminpin harus ada proses yang dilalui. Seseorang yang belum pernah menjadi bapa aron dalam acara muda-mudi, tak akan pernah diangkat menjai peminpin kuta. Begitu perlunya proses mematangkan seseorang untuk menjadi seorang peminpin, sehingga kelak menjadi tetua di desa bisa masin cakapna. Tahapan ini mungkin yang suka diabaikan oleh politikus jadi-jadian. Sejarah mencatat lagi, pada masa jaman Repoeblik Indonesia Serikat, seorang politisi Karo, bernama Nerus Ginting Suka pernah mencalonkan diri menjadi wakil presiden tahun 1950. Kemudian pada masa Orde Baru, muncul Djamin Gintings dengan Gekari, menjadi ketua DPP Golkar beberapa periode. Dan berikutnya Beren Gintings, Raja Kami Sembiring, dll. Salah satu titik nadir perpolitikan orang Karo masa ini adalah ketika Ulung Sitepu menjadi Gubernur Sumatera Utara tahun 1963, kemudian meletus Gestapu, yang menoreh luka yang amat dalam di hati orang Karo. Sitepu lengser karena dituduh PKI, meski tidak pernah diselidiki secara hukum peradilan. Lalu orang Karo minder, karena suka dicap PKI bila bergaul di ranah politik, pasca G30S.

Di era reformasi juga demikian. Pemilu tahun 1999 mengantarkan enam orang Karo duduk di Senayan. Meski turun menjadi tiga orang pada tahun 2004. Akan tetapi jumlah tiga orang tersebut masih diatas rata-rata reprensentasi suku Karo. Analoginya begini, andai jumlah orang Karo katakan satu juta jiwa, maka persentasenya adalah 0,5% dari 200 juta lebih populasi Indonesia. Jadi bila ada tiga orang wakil dari 500-an angota dewan maka angka tersebut masih diatas rata-rata. Lebih jauh dari itu, munculnya beberapa nama dari kalangan Karo dalam kepengurusan partai merupakan satu hal yang menggembirakan. MS Kaban menjadi ketua partai PBB, Tifatul Sembiring di PKS, Sutradara Gintings di PDIP, Sahrianta Tarigan di PDS, serta yang lainnya merupakan indikasi animo masyarakat Karo terhadap politik cukup tinggi.

Keterlibatan orang Karo di banyak partai, bisa jadi memberikan kesempatan lebih besar keterwakilan di parlemen tentunya, Tetapi lebih menarik lagi bagi saya, melihat sebuah fenomena baru, yaitu mengingat selama ini orang Karo lebih dikenal berwatak nasionalis, justru belakangan keterlibatan orang Karo lebih menonjol di partai-partai yang berbasis aliran agama. Apakah orang Karo sekarang sudah makin religius? Tentu jawabnya ada pada kita masing-masing. Tapi boleh jadi dua pertanyaan berikut ini mungkin bisa memberikan kesimpulan,

Apakah orang Karo memilih seorang Karo di partai agama yang berbeda dengan agamanya?
Apakah orang Karo memilih orang lain (bukan Karo), di partai yang sama dengan agamanya?

Bila agama pada orang Karo lebih kuat dibandingkan keterkaitan budaya, maka pilihan partai-partai agama bisa jadi adalah trend baru dalam perpolitikan orang Karo. Disamping itu, munculnya orang Karo dalam partai Islam umpamanya, tentu membuka kesempatan lebih lebar karena basis masa yang lebih besar. Meskipun secara tradisional jumlah populasi orang Karo yang Kristen masih lebih besar dibandingkan Karo Muslim. Walaupun kehadiran orang Karo di partai yang berbasis Islam tentunya harus diikuti dengan kompetensi yang lebih baik.

Mengingat secara populasi orang Karo kurang diperhitungkan dalam percaturan politik Indonesia dengan sistem pemilihan langsung, akan tetapi bila kualitas tetap unggul maka secara logika sehat kehadiran orang Karo akan terus mewarnai kancah perpolitikan bangsa ini. Seperti yang kita lihat, politisi Karo lebih cendrung tampil secara individu ketimbang kolektif, baik di tingkat nasional maupun daerah, meski di beberapa partai seperti PDS dan PDIP cukup banyak orang Karo menjadi pengurus partai. Tapi mereka muncul karena faktor kualitas individu. Berbeda bila dibandingkan dengan masyarakat Toba yang tampil kolektif seperti di PDS, Partai Buruh, PPRN. Mereka muncul lebih solid. Kuantitas etnis bisa jadi salah satu variable penentu dalam sistem pemilihan langsung. Kondisi ini berbeda dengan karakter kita Orang Karo lebih bisa menonjol secara individu, layaknya seekor elang yang selalu terbang sendiri, dan bukan seperti burung eicah selalu terbang bersama.

Gbr: Presiden SBY diuis-garai dalam acara Mburo Ate Tedeh, Senayan