Saturday, January 12, 2008

Antara Sukses Ekonomi dan Adat Pada Masyarakat Karo

Oleh Drs Lape Tendi Sinulingga, MM

Setiap masyarakat memiliki adat istiadat yang bersifat turun temurun yang merupakan warisan nilai-nilai yang kadang dikemas dalam bentuk mitos, seperti juga adat istiadat masyarakat Karo.

Kita melihat setiap masyarakat memiliki legenda/mitos yang sangat diyakini contohnya masyarakat Karo tentang adat-istiadat sampai saat ini masih kental dilaksanakan. Semua aturan yang telah ditata oleh adat itu dilaksanakan secara turun-temurun. Salah satu contoh menurut adat Karo dalam melaksanakan pesta adat dalam suatu perkawinan adalah suatu keharusan. Apabila tidak dilaksanakan tentu keluarga tersebut akan mendapat malu dari keluarganya serta kerabat. Dalam adat-istiadat Karo, melaksanakan pesta adat perkawinan terdapat tiga tingkatan yang dapat dipilih sesuai keberadaan dan kemampuan pihak keluarga yang akan mengawinkan anaknya, yaitu : Kerja Kitik, Kerja Sintengah dan Kerja Mbelin.

Dalam pesta tersebut harus dilandasi sangkep enggeluh yaitu suatu sistem kekeluargaan pada masyarakat Karo yang secara garis besar terdiri dari senina, anak beru dan kalibubu (Tribal Collibium, Adat Karo, Darwan Prinst SH 1996; 35). Setelah selesai pesta diadakan upacara ngulih bulang dan memberikan kebutuhan hidup mereka selama satu tahun, alat-alat yang mereka perlukan beserta ladang/sawah tempat mereka bercocok tanam (Adat Karo, Darwan Prinst SH 1996; 119). Kedua pengantin dipersiapkan untuk kehidupan njayo (berpisah dari orang tua alias mandiri). Dalam kehidupan mandiri ini, apabila ada keluarga yang melaksanakan pesta di keluarga suami maupun istri harus dihadiri.

Kalau setiap pesta keluarga dapat dihadiri merupakan kebanggaan bagi semua keluarga. Selanjutnya disamping faktor keberadaan adat yang harus dijunjung tinggi, ada hal yang lain yang menuntut lebih utama dibina yaitu membina kehidupannya, dengan membangun kehidupan yang layak. Setelah hidup layak dan berkecukupan menurut ukuran desa maka dia harus mengunjungi kalimbubu serta sanak keluarga sacara bergiliran. Ada kalanya sampai memakan waktu hingga berbulan-bulan. Pada zaman dahulu hal tersebut tidak menjadi masalahkarena itulah kebanggaan dalam hidup bermasyarakatdi Tanah Karo. Apakah keadaan ini juga terjadi berbagai kelompok masyarakat dengan adat istiadatnya, masih dapat dilaksankan dan dipertahankan secara sempurna di abad glbalisasi ini? Tatanan pola kehidupan yang baru juga telah berubah yakni dimana masyarakat telah memandang pentingnya informasi yang up to date bahkan real time information (Orang Karo Diantara Orang Batak, Martin L. Peranginangin; 152).

Disini dapat diceritakan yang merupakan kisah si A setelah berumah tangga sangat peka sekali mengikuti acara-acara adat sehingga di dalam acara dapat dikatakan sangat aktif dan tanpa pamrih sehingga semua famili maupun masyarakat Karo khususnya dan handaitolan umumnya , menganggap si A dengan julukan pengetua adat, dan dengan julukan ini dia sangat bangga. Kebetulan tiga bersaudara ini bukanlah berasal dari keluarga yang kaya melainkan dari kalangan yang pas-pasan saja, dengan kata lain tidak ada harta warisan orang tua yang dapat dandalkan. Si A lupa memperjuangkan hidupnya, masalah ekonomi dan usiapun terus bertambah, padahal sebagai pengetua adat dia sering berbicara dan menyampaikan berupa nasehat-nasehat, pesan-pesan dan kesan di saat acara pesta perkawinan. Bahwa setelah terbentuknya mahligai rumah tangga saat ini, persiapkan tatanan kehidupan layak supaya suatu saat ada tambang (ongkos) dan oleh-oleh untuk mendatangi sanak failmi kedua pihak maupun menghadiri acara pesta perkawinan lainnya. Berkaitan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan lain-lain yang pada gilirannya dapat mengakibatkan bergesernya nilai-nilai sosial. Oleh karena itu untuk meningkatkan taraf hidup yang erat kaitannya dengan tatanan adat istiadat, maka perlu disikapi dengan mencari dan melaksanakan keseimbangan antara pola berpikir miskin dengan pola berpikir kaya terhadap keberhasilan hidup ini. Begitulah petuah selalu disampaikan. Kelihatannya pesan-pesan ini sangat bermanfaat sekali khsusnya bagi pengantin sepanjang dihayati, direnungkan dan dilaksanakan. Disini, tentu seharusnya si A terlebih dahulu melaksanakan hal-hal yang diutarakan tersebut dalam praktek, sehingga tidak seperti pepatah Karo, ‘Bagi Sekin Parang Bentang’ katanya. Entelap bas juma kalak metultul bas jumana. Arti kiasan ini ibarat sebilah parang yang tajam dipakaikan di ladang orang tapi tumpul di ladang sendiri.

Pada usia 52 sampai 55 tahun, si A sudah mengurangi aktifitasnya didalam mengikuti kegiatan adat istiadat perkawinan karena disamping usia, biaya untuk mengunjungi acara adat pun sudah sulit diperoleh. Biaya hidup makin lama makin tinggi, anak yang disekolahkan makin besar biayanya, sedangkan sumber penghasilan makin berkurang. Namun apa hendak dikata, usia di atas 40 tahun, sulit sekali memulai suatu usaha dari awal. Menurut para ahli jika pada umur 40 tahun seseorang belum ada sesuatu usaha yang dapat menopang kehidupannya, maka kemungkinan hidupnya tidak lagi akan berubah kecuali kalau menang undian. Sekarang si A tinggal merenungi nasibnya. Orang-orang yang memujinya dahulu semakin berkurang begitu juga yang datang untuk memperhatikannya. Bahkan sekarang ini dia sudah sakit-sakitan dan yang merundung malang hanya anak dan istrinya yang senantiasa memperhatikannya. Begitulah hidup ini secara kenyataan.

* Penulis adalah Dosen pada Fakultas Ekonomi UMSU Medan