Thursday, November 15, 2007

Lampas Tayang Melawen Tunduh

Pernahkah Anda didera kerinduan yang kuat dan mendalam? Tak tertahankan, mekelek mesangat ibarat suhu tubuh sudah mencapai 40 derajat celsius. Ise pe tendengna banci ndehereng tanpa kecuali. Sulit diungkapkan dengan kata-kata, laterkata belasken alias more than words. Barangkali demikian kondisi yang bisa dialami seseorang saat mejumpai persoalan ini. La erndobahen, biar maskulin bertampang cool abis dirasuki persoalan ini bisa kehilangan jati diri. Walau orang Inggris bilang boys don’t cry, laki-laki tidak menangis katanya. Hanya saja, apa yang digubah Djaga Depari dalam lagu Lampas Tayang Melawen Tunduh seolah-olah memberi excause bagi kaum adam bisa larut dalam suasana sentimental. Ia terpana campur haru-biru dikala sadar tak ada lagi jalan merebut hati orang yang didambakan. Selpat kite-kite dalan jumpa. Hukumnya memang, rasa rindu datang meradang setelah kita tahu akan berpisah tak bertemu lagi dengan orang yang kita kasihi.

Djaga Depari memang piawai menulis lagu romantis dengan lirik-lirik yang menggugah dan tajam. Goresan lagunya disari dari kata-kata pilihan kemudian diramu dengan olahan syair syahdu menjadi satu kesatuan. Meski latar belakang hidupnya banyak dilalui di masa perjuangan dan terlibat sebagai serdadu perang dengan pangkat terakhir sersan mayor. Ia juga hanya sempat mendapat pendidikan dari sekolah Christelijk HIS III di Kabanjahe kemudian melanjut ke Chistelijk HIS di Medan, namun lagu-lagunya dikenang abadi sampai sekarang. Mungkin ia tak pernah memikirkan soal imbalan yang akan didapatkan. Kepuasan jiwa adalah honor yang tak ternilai, seperti halnya sebuah karyanya yang indah ini, Lampas Tayang Melawen Tunduh.

Di bait pertama dibuka dengan sebuah persoalan yang tengah dialami tokoh utama, lampas tayang melawen tunduh. Menurut orang Karo rumus sejahtera itu cuma ada tiga : entabeh man, entabeh tunduh, entabeh erbuang. Itu saja! Jadi kalau lampas tayang melawen tunduh tentu saja ada yang tidak beres. Apa yang menjadi soal? Yah, di baris kedua kemudian langsung dijelaskan. Sampai disana sudah jelas duduk persoalannya, soal ate ngena sehingga hari sudah larut malam tak terasa, namun mata tak kunjung terpejam apalagi bisa ernipi. Bila raga yang letih cukup dibayar dengan istirahat, kalau latih rukur kai menda tambarna?

Berikut, di bait ke dua diberi penegasan lagi betapa besar masalah yang tengah bersarang di hatinya. Kata melenget sudah jelas artinya, rasa sepi yang amat sangat. Juga meriso adalah penegasan kembali. Kalaupun ada terjemahan bebasnya artinya ‘sepi yang diselimuti perasaan sedih-medih’ barangkali. Ia sudah syarat dengan penderitaan, namun persoalan itu tak jua kunjung berakhir. Apa lacur rasa cinta sudah berurat-berakar dihati, namun sang kekasih (solusi masalah) tak berada lagi di pihaknya. Karena itu si man tangkelen lalap la tembe (tembe = dung alu mehuli). Akibatnya air matapun tidak hanya bercucuran, tapi sampur ( Ind : melimpah-ruah). Seterusnya dijelaskan lagi, iluh mambur ndabuh ku pusuh. Itu berarti peristiwa yang dialaminya memberi luka yang amat dalam di hati.

Di bait ke tiga, sang tokoh mencoba bangkit dari persoalannya. Ini sisi positif yang masih sempat terbesit dipikirannya. Labo gunana numpah padan, katanya. Biarlah hanya iar mata yang bercucuran. Tapi kelihatannya ia juga tak begitu kuat berpasrah menerima keadaan. Masih ada secuil sisa-sisa harapan dari orang yang lemah. Dia lemah sekali, karena tak punya otoritas untuk merubah keadaan. Uga bahan adi sekin enggo bas kalak (bekas kekasih) sukulna, kata pepatah Karo. Harapan hanya bisa menanti kekasih bisa berubah pikiran. Tapi bilapun ada harapan itu berkisar bilangan desimal persentasenya. Pepatah lain bilang, bagi ngarapken kerbo mombak man bengkau merdang. Hah, Pak Muin-lah!

Di bait penutup diungkit lagi kenangan indah yang membuat tokoh utama menderita. Mehuli ndube si ban arihta Turang, kenangnya. Tapi mengapa akhirnya la mehuli begitu kira-kira, sehingga ia berputar terus di pusaran itu. Apalagi mengingat sang kekasih sudah berjanji, aku pagi bandu, katanya. Tapi apa yang terjadi, kita enggo sirang! Inilah pokok persoalannya. Apakah ngobah janji semudah membalik telapak tangan? Mungkin di jaman dahulu, kejadian seperti ini masih tergolong langka, karena waktu itu belum ada istilah CJ [baca: se-je] alias snake. Orang yang berdusta semudah makan bakso saja, membuat penyair tak mengeri. Apa salahku, apa dosaku? Dia bertanya-tanya. Hmm, enggo me Mama, ia lange tehna dosa. Sada ngenca dosa tandaina, dosa la man melihe. Enca! Ban baleng-balengna ertangkel e, kalak si lepak kita si robah. Labo dalih...

Lampas Tayang Melawen Tunduh

Lampas tayang melawen tunduh, Turang
Nginget-nginget katandu rutang
Piah-piah nggo mbages berngi
Daging ngalah rukur pe latih Turang

Melenget meriso ertangkel si sada Turang
Si man tangkelen lalap la tembe
Piah sampur iluh i mata
Mambur iluh mambur ku pusuh Turang

Bage gia la kusumpah padan
Iluh naring mambur Turang
Tapi bage gia uga kubahan bangku
Kena nari rukur Turang

Mehuli ndube siban arihta Turang
Aku pagi bandu nindu man bangku
Tapi gundari kita enggo sirang
Kai salahku robah kal aku Turang
Robah kal aku mesayang…