Friday, June 09, 2006

SENI MENGKRITIK SENI : Santapan Rohani Perkede Kopi

Di dalam dunia seni kehadiran kritikus adalah hal yang lumrah. Kalau saya bisa sedikit berkesimpulan, seni tanpa kritik adalah keangkuhan. Di sisi lain, "Tukang kritik akan mati karena dunia yang di kritik menjadi sempurna", begitu kata seniman monolog Butet Kartaredjasa. Tidak ada lagi yang bisa dikritik. Semuah telah sempurna.

Dunia seni mirip dengan kehidupan lain yang ada di sekelilingnya. Senantiasa perlu ada kritikan. Justru krtikan merupakan vitamin yang sangat dibutuhkan guna membangun. Sebab kita sendiri tidak melihat titik lemah itu, dan hal itu terlihat jelas oleh orang lain. Dan ketika itu diutarakan, layaknya kita berterima kasih atas sesuatu yang kita sendiri lalai melihatnya.

Dulu, bagi saya musik trash metal adalah memuakkan, tapi coba tanyakan bagi penggemarnya tentu pasti berbeda ungkapannya. Wong, pulang nonton konser trash, dijalanan kepalanya masih manggut-manggut.

Sebagai seorang yang outsider, saya sendiri melihat seni itu menurut interpretasi yang saya buat sendiri, yakni sesuatu yang indah dipandang, indah didengar dan dirasakan. Nah, defenisi itu belum tentu pas bagi orang lain. Memang seni itu sepertinya tidak universal, walaupun keindahan itu universal adanya. Begini, sebelum ribut-ribut soal RUU APP, foto telanjang Anjas begitu menghebohkan karena dipandang porno. Disinalah letak seni itu kontekstual adanya. Foto Anjas yang dipajang di galeri itu pastilah barang seni karena orang yang mengunjungi pameran itu tentu ingin melihat nilai seninya. Dan orang-orang yang datang ke sana juga tentu sedikit banyaknya telah memiliki rasa seni. Berbeda jikalau foto Anjas di pajang di Pajak Sore misalnya atau terminal Pulo Gadung, dimana komunitas yang melihatnya bukan orang seni, sehingga gambar itu pun dianggap cabul. Contoh lain misalnya, gambar telanjang di dalam buku-buku ilmu kedokteran tentu bukanlah dipandang porno karena konteksnya sebagai ilmu pengetahuan, tapi bila gambar itu tanpa teks dan hanya sekedar gambar bisa jadi dikatakan porno. Itulah kontekstual seni.

Kembali ke dunia seniman. Untuk menjadi seorang pekerja seni tentu diperlukan dedikasi, sehingga orang lain yang mengamati kemudian dengan rasa hormat menganugrahkan gelar seniman. Tentu itu bukan pekerjaan yang mudah. Butuh kerja keras dan cucuran keringat bahkan air mata. "Untuk mendapatkan segenggam emas, anda harus memindahkan segunung tanah", kata Andrew Carnigie. Tak ada jalan lain. Hanya pecundang yang suka dengan jalan pintas.

Dalam suatu wawancara, Kenny G. pernah mengutarakan mengenai hal itu. Seusai konsernya yang meriah, seseorang berkata, "Wah...konser anda hebat sekali!". "Terima kasih", jawabnya. "Sebenarnya konser saya itu biasa-biasa saja", kata Kenny G, "Tetapi apa yang saya lakukan dibalik panggunglah yang luar biasa", katanya lagi. Bagaimana tidak luar biasa, sebagian besar waktunya dia curahkan hanya untuk saxsophone. Hari demi hari dilawatinya dengan latihan yang berat serta hidupannya sendiri didedikasikan untuk saxsophone. Karena itulah di mata saya seniman itu adalah dedikasi dan komitmen. Sehingga cukup menggelikkan bagi saya bila saja ada muncul seniman karbitan, seniman oplosan, seniman yang tiba-tiba saja muncul. Apalagi bila seniaman tanpa karya seni? Sama seperti seorang guru yang tidak memiliki murid, apakah layak dikatakan dia seorang guru?

Akhirnya, pembaca yang budiman, semoga anda tidak sewot membaca tulisan saya ini. Sebab, bila anda tersinggung cita-cita saya telah tercapai. Hidup kritikus! He...he...he....

(Gbr Guru Patimpus Sembiring Pelawi di Petisah, Pendiri Kota Medan)



Geliat Bisnis Panggang Karo

Tinggal di komunitas yang plural dan sekaligus minoritas sering kali memancing batinku untuk bertanya kepada orang yang bukan kalak Karo. Apakah yang mereka ketahui tentang orang Karo. Ah, ini memang pertanyaan yang beridiologi egosentris. Tapi tak apalah, yang penting aku dapat memuaskan perasaanku dari hasil riset amatiran tersebut. Hasilnya memang seperti yang telah ku duga. Yang lekat di kepala mereka tentang orang Karo adalah : panggang Karo, jokkor Karo, Oukup. Nah itu dia, sekali-sekali ada yang tau tentang terites alias pagit-pagit. Yang terakhir ini orang sering memberi kesan negatif, seolah-olah orang Karo suka dengan produk ending process tersebut.

Antonius Tanan, salah seorang direksi Group Ciputra pernah mengangkat BPK nama keren panggang Karo sabagai salah satu contoh kasus dalam seminar kewirausahaan di kalangan PAKSU (Persekutuan Alumni Sumatera Utara, suatu perkumpulan alumni beberapa universitas di Sumut). Bahkan tidak sekedar di seminar, tapi hal ini juga dituliskan dalam bukunya tentang kewirausahaan.

Menurut catatan Ir. Perdana Ginting, tahun 1972 di kota Medan BPK baru ada satu buah benama Sar Kadobang Cit terletak di Simpang Kuala milik seorang tokoh adat Karo bernama Bengkel Tarigan. Jadi bila saja dirunut berdasarkan tahun itu bisnis ini telah berusia lebih 30 tahun. Namun tampilan kebanyakan BPK tetap saja ala kadarnya, terutama mengenai kebersihan yang masih kurang. Padahal di sepanjang jalan Jamin Ginting ada puluhan bisnis BPK dan mungkin mencapai ratusan buah 'restoran' BPK di kota-kota di Sumut dan kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Tangerang, Bogor, Bekasi dst.

Ini merupakan suatu bisnis yang menggiurkan karena bukan saja dapat menyerap banyak tenaga kerja tapi juga memungkinkan terciptanya suatu lingkup bisnis dari hulu hingga hilir. Bayangkan berapa banyak tenaga akan diserap disektor peternakan, perdagangan, penyelia pakan ternak dan seterusnya. Sekali lagi, menurut Perdana Ginting dari sekitar 20 rumah makan BPK membutuhkan 800 kilo daging. Dengan harga Rp 6.500 per porsi berarti perputaran uang bisnis ini sekitar Rp 42.000.000 sehari. Tentu hal ini masih dapat dikembangkan menjadi lebih besar dengan manajemen yang profesional, sehingga seorang gubernur yang 'tidak haram' merasa nyaman makan di sana. Atau dengan sistem catering, kiloan, pesan-antar atau mungkin dibuat dengan sistem waralaba. Anda tertarik investasi di sektor ini? Ah, ngomong-ngomong cerita soal yang satu ini, perut saya jadi lapar.

Dialog Kruyt Dengan Ngasap

Pdt. H.C. Kruyt merupakan missionaris yang pertama kali menginjili orang Karo. Ia tinggal di Buluh Awar pertengahan tahun 1890. Istilah kristen dalam bahasa Karo 'tempo doloe' adalah serani yang dikutip Carel Westenberg (kontelir khusus orang Batak) dari bahasa Melayu yakni nasrani. Lebih dua tahun Kruyt melayani di dataran tinggi Karo, tapi tidak seorang pun menjadi kristen. Begitu sulit mengajak orang Karo memeluk agama baru, karena pemena merupakan agama yang sudah lama menjadi tradisi. Masri Singarimbun (1975) pernah menulis bahwa missionaris Islam dari Aceh juga pernah melakukan hal yang sama kepada orang Karo dan hasilnya juga tak beda. Tahun 1965, jumlah orang Karo yang Kristen baru 23.000 jiwa, tapi setelah peristiwa G30S/PKI pemerintah melarang partai komunis, terjadilah booming pembaptisan massal. Tahun 1965-2005, jumlah orang Karo menjadi Kristen melonjak melampaui ribuan persen. Tapi relatif sedikit yang aktif. Hari Minggu yang ke gereja kurang 50%, PJJ kurang 30%. Apakah hal ini disebabkan booming babtisan massal, karena sebenarnya kebanyakan belum siap menjadi seorang Kristen yang sungguh-sungguh, tetapi karena keadaan mereka menjadi kristen. Jadilah mereka perbegu babtis. Untuk melihat situasi awal, mari kita baca dialog Kruyt dengan Ngasap seorang Karo yang awam tentang kekristen-an di masa mula-mula penginjilan.


"Ngasap, do you know what a serani is?"

"A serani is someone who is nice"

"Nice? But How? Nicely dressed? Nice looking? Nice what?"

"Nice everything, Tuan"

"Where do serani live?"

"At Labuan, Ketumbah, Medan"

"Where else?"

"Other places I don't know, but there many overseas"

"Have you ever seen one?""Yes, At Ketumbah. The bodyguard of one of the Europeans there is serani"

"What does he look like?""I don't know exactly. I mean he has the same appearance as a Batak (Tapanuli), but his language is different""What language does he speak?"

"Malay"

"Are there also serani who speak Dutch?"

"I don't know. Oh yes. I have heard that serani can have only one wife"

"So then, they have different rules from Batak - who can have more than one wife."

"Yes, The Bataks are somewhat lower than the serani, but they come from the same origin. The Malay have another origin."

"Can the Malays become serani?""Oh never"

"Can the Dutch become serani?"

(With emphatic gesture) "Impossible. How can that be when the Dutch are higher than the serani? A serani, oh he careful not to offend the Company [i.e., the Dutch]."
"In the beggining, you said that serani were nice. But are they nice within also? Do they love others?"

"Oh no, Their speech is not true. You can't trust them, and they are also haughty. Bodyguards, that's all they want to be and nothing else. They want money, want to cheat and swindle other people. When the Company says to the serani, 'Kill that coolie!' he kills and he kicks. And he doesn't stop to ask whether or not he should. In this respect we Bataks stand higher than the serani."

(Catatan Kruyt, 1891. Dikutip dari buku Rita Smith Kipp, The Early Years of a Dutch Colonial Mission, The Karo Field. The University of Machigan Press)

Pawang Ternalem : Kisah Orang Terbuang





Oleh Martin L Peranginangin


Banyak jalan menuju Roma. Itu ungkapan diketahui oleh banyak orang. Tapi tidak banyak yang tahu siapa yang mula-mula membangun kota Roma. Kisahnya, kira-kira tahun 753 SM, Romulus dan saudaranya Remus membangun permukiman Palatine di Italia. Dan itulah cikal bakal kota Romawi. Bila saja mereka hidup sekarang, pastilah mereka takjub melihat kemegahan kota Roma. Salah satu kota pusat peradaban dunia, pusat pemerintahan, dan belakangan menjadi pusat perhatian dunia berhubungan dengan Vatikan.

Menurut sejarah Romulus dan saudaranya adalah orang buangan. Mereka dibuang ke hutan oleh ibunya, dan konon mereka disusui oleh serigala sehingga akhirnya ditemukan dan diasuh oleh Faustulus seorang penggembala sampai akhirnya mereka dewasa.

Kisah ini hampir sama dengan Pawang Ternalem, kisah anak buangan yang kemudian menjadi pawang (orang hebat) versi drama Karo yang dikarang seniman besar Karo tahun 1980-an, Hendri Bangun. Cerita ini ternyata diangkat dari kisah nyata kehidupan masyarakat Karo tempo doeloe. Cerita itu mengisahkan seorang bayi yang dibuang karena ibunya meninggal ketika melahirkannya. Paradigma orang Karo kala itu, bayi itu harus dibuang, karena bila diasuh maka akan membawa sial bagi keluarganya. Seperti kisahnya Pawang Ternalem, kematian ibunya kemudian disusul oleh ayahnya. Yang akhirnya ia dibuang di bawah kolong rumah (teruh karang). Ia kemudian hidup dan menyusui pada anjing dan babi.

Cerita rakyat Karo menunjukkan bahwa kelahiran bayi yang membawa kematian ibunya adalah bayi sial. Bayi ini dianggap pembawa malapetaka atau disebut ?tendi nunda?. Kebiasaan jaman dahulu, bayi-bayi seperti Pawang Ternalem ditaruh disisi mayat ibunya seolah-olah menyusui pada ibunya kemudian ditelungkupkan sehingga mayat ibu menindih si bayi sehingga ia pun mati. Biasanya hal ini dilakukan secara diam-diam. Atau biasa juga di taruh di pintu gerbang kampung sehingga meninggal terinjak rubia-rubia. Bila pihak keluarga tidak tega melakukan hal yang tergolong ?pelanggaran HAM? berat itu, paling-paling si bayi di taruh di teruh karang.

Tragedi itu sudah berlalu ratusan tahun yang lalu, sebelum terjadi pencerahan yang dimotori oleh para Missionaris yang datang ke Tanah Karo. Suatu ketika, peristiwa ini dialami sendiri oleh Pendeta J.K. Wijngaarden di daerah pelayanannya sekitar tahun 1920-an. Selain sebagai seorang pendeta, ia juga seorang mantri yang sering mengobati orang. Keahlian di bidang kesehatan adalah entry point baginya untuk menarik minat masyarakat belajar tentang agama. Sebab dataran tinggi Karo waktu itu sering sekali diserang wabah kolera dan kusta yang tidak manjur diobati oleh Guru Mbelin. Dalam peristiwa itu, ia melihat bagaimana pihak keluarga tidak mengharapkan kehadiran bayi ?sial? itu. Lantas, atas persetujuan semua pihak, Wijngaarden kemudian mengadopsi anak itu lalu ia beri nama Sangap. Akhirnya beberapa waktu kemudian Sangap pun dibabtis, dan terakhir ia kemudian menjadi guru agama. Untuk menanggulangi kasus seperti Sangap, tahun 1925 Rumah Sakit Zending mendirikan panti penitipan bayi. Pada tahun 1926 terdapat lebih 100 orang bayi dirawat ditempat ini. Artinya, banyak sekali terjadi kasus ibu yang meninggal di saat melahirkan.

Ketika Sangap sang pawang ternalem menjadi guru agama, ia tidak menjadi berita besar seumpama Romulus dan adiknya. Tetapi ia telah menjadi icon perubahan besar bagi orang Karo. Perubahan paradigma! Bahwa ibu yang meninggal tidak ada hubungannya dengan takdir seseorang melainkan faktor kesehatan. Pergolakan itu sangatlah besar. Missionaris berperang dengan roh-roh para dukun, dan gunjingan orang yang belum memahami tentang itu.

Suatu kali dalam kehidupan kita, mungkin bertemu dengan situasi yang dialami Romulus atau Sangap dalam versi yang berbeda. Kita merasa terbuang. Diabaikan. Merasa ditentang dari semua penjuru. Seperti lagu Karo, layam-layam si tangke ndoli: ?Naktak pe la lit si ngulihisa, mombak pe la lit si nangkapsa?. Hidup sepertinya tanpa makna. Namun sebagai orang yang percaya, Tuhan tidak pernah meninggalkan perbuatan tangannya. Kita ada di dunia karena Tuhan punya rencana yang besar. Bila kita memiliki iman, rancangan Tuhan tidak pernah meleset. Kini kita tidak mengerti, kelak kita disadarkan oleh kenyataan.

*) Mantan Ketua Konsolidasi Permata Klasis Jakarta
Sekretaris Mamre Pondok Gede 2005-2010
Sekretaris II Arisen Anak Kuta Bukit se Jabodetabek
Pengawas Credit Union 'Ola Kisat' Pondok Gede




Mahasiswa Karo Dimana Suaramu?

Oleh Martin L Peranginangin

Sebentar lagi tahun ajaran baru, tentu banyak keluarga yang hendak menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Beberapa waktu lalu saya didatangi seorang ibu hendak mengajukan personal loan dalam kapasitas sebagai loan officer sebuah bank Inggris di Jakarta. 'Seh sura-sura turah sinanggel', begitu kira-kira kondisinya. Anaknya lulus bebas testing teknik arsitektur ITB, tapi ia harus menyediakan sumbangan sebesar 50 jeti. Tulisan berikut bukan mengupas tentang mahalnya biaya pendidikan sekarang ini, tapi untuk melihat sisi lain bagaimana perkembangan peran mahasiswa (pemuda) Karo dari waktu ke waktu.

Soekarno pernah berkata, 'Beri padaku beberapa pemuda, aku akan mengubah dunia!' katanya. Ucapannya memang heroik dan 'agak' berlebihan. Namun perkataan itu bukanlah ilusi bila kita mengkaji kepeminpinan sekaliber beliau. Sayangnya Soekarno tidak pernah mengatakan model pemuda yang bagaimana yang ia maksud. Tapi setidaknya, ucapan itu memiliki pesan bagaimana potensi kaum muda dapat menciptakan suatu keajaiban bila energinya didaya-gunakan dengan benar. Orang muda (mahasiswa) adalah energi yang luar-biasa dalam sejarah bangsa kita. Indonesia merdeka berkat bantuan orang muda. Soekarno sendiri tokoh pemuda di zamannya, dan tersandung oleh gerakan pemuda angkatan 66 (tanpa mengecilkan peran unsur lain). Soeharto lengser karena demo mahasiswa, dan banyak lagi contoh dimana kaum muda adalah aktor pemeran utama. Mereka memiliki energi besar yang dapat membungkam rezim kokoh dan kuat. Mahasiswa adalah dinamisator dan pelopor perubahan yang netral. Selain itu mereka juga adalah bekal calon kelas menegah yang dapat membawa perubahan di masa depan.

Bagaimana dengan kaum muda Karo? Sejarah menulis bahwa awal mula-mula pergerakan kaum muda Karo terjadi di sekitar tahun 1930-an. Djamin Gintings adalah aktivis Pertoempoean Karo semasa masih menempuh pendidikan di Medan. Selain dia, ada para pemuda Karo yang masih amat sedikit jumlahnya yang rata-rata masih mengenyam pendidikan setingkat sekolah menengah, seperti : Meer Uitgebreid Lager School Onderwijs (setingkat SMP), Hoogere Burger School (HBS), Algemene Middelbare School (AMS), Hollandsche Inlandsche School (HIS), Hollandsche Inlandsche Kweek School (HIK) atau Meddelbare Hadel School (MHS). Nama-namanya patut kita catat, seperti : Selamat Ginting (Pa Kilap), Djamin Gintings, Nelang Sembiring, Djaga Bukit, Benar Sitepu, Koran Karo-Karo, Manis Manik, Rumani Barus, Mbaba Bangun, Rakutta Sembiring, Djaulung Munthe, Asan Sinisuka, Payung Bangun, Kontan Bangun (K. Pri Bangun), Roga Ginting, Bom Ginting, Netap Bukit, Amin Adap Sebayang, Metehsa Tarigan, Selamat Ketaren, Raja Bale Barus, R. N. Maha, R.O. Sembiring, Matang Sitepu dll. (biografi NJ Sembiring hal. 85). Sebenarnya, di ranah perantauan pada tahun 1939 telah ada Pondokan Karo di Jakarta berlokasi di Zij Gang Boengkoer No. 6 Jakarta Pusat. Namun tidak ada risalah tentang kehidupan mereka.

Para pemuda Karo mulai terlibat dalam pergerakan tahun 1930-an sampai 1940-an. Dalam pada masa ini juga muncul suatu kelompok Permata (Persatuan Memajukan Agama dan Tanah Air). Organisasi ini dibidani oleh pemuda Karo akibat tekanan serdadu Jepang yang memaksa meneyembah Tenno Haika padahal sebagian mereka telah menjadi Kristen oleh Zending. Tahun 1948, organisasi ini resmi menjadi sebuah lembaga di GBKP dengan panjangan Persadaan Man Anak Gerejanta, merupakan organisasi pemuda Karo yang paling tua.

Keterlibatan sejumlah pemuda Karo dalam pergerakan yang relatif terdidik saat itu mulai marak ketika beralihnya kekuasaan kolonial Belanda ke Jepang. Saat itu banyak pemuda yang masuk tentara, seperti : Talapeta (Taman Latihan Pelajar Tani), gyugun, heiho, keinedan, keibodan, dsb. Jepang ketika itu seolah membawa angin surga. Janji Jepang akan kemerdekaan merupakan obsesi yang dinantikan pejuang Karo karena merasa terpinggirkan oleh konsesi perkebunan kolonial Belanda. Sekalipun janji itu tidak pernah digenapi, pelajar dan tentara didikan Jepang banyak memberi andil dalam perjuangan pemuda Karo di Sumatera Timur.

Setelah Indonesia merdeka, peran pemuda Karo cukup berarti, misalnya : Selamat Ginting kemudian membentuk Barisan Pemuda Indonesia di Tanah Karo, sementara di Medan ia dipercaya sebagai Ketua Kelaskaran BPI yang sangat di segani waktu itu. Ketika Djamin Gintings menjadi Pangdam Bukit Barisan dan Matang Sitepu menjadi bupati Karo, mereka memprakarsai berdirinya SMA Negeri Kabanjahe tahun 1957. Nelang Sembiring dan Djamin Gintings ikut sebagai pendiri Universitas Sumatera Utara dengan memutuskan daerah Padang Bulan bekas persawahan orang Karo sebagai lokasi kampusnya. Itu baru sedikit catatan karya mereka yang aktivis sejak dari muda.

Sejak dari dulu hingga puluhan tahun Indonesia merdeka, sudah bertaburan perkumpulan orang Karo di banyak tempat termasuk oleh mahasiswa. Di Yogya ada Sinuan Buluh dan Piso Surit (UGM), Sada Perarih di Bandung, KMK Ernala (ITB), dan Permakan (Unpad), Karo Sada Ukur di Bogor, Ola Ate Aru di Jember. Di Jakarta sekitar tahun 1960 sudah ada Karo Sada Kata tapi lebih banyak kegiatannya menggelar GGA (Gendang Guro-guro Aron), maka para mahasiswa di Jakarta kemudian mendirikan Makadjaya (Mahasiswa Karo se Djakarta Raya) tampil dengan menerbitkan buletin Makadjaya dimana salah satu motor penggeraknya adalah NJ Sembiring yang juga kemudian mendirikan tabloid Piso Surit dan akhirnya sekarang pimpinan Sora Mido. Konon HMKI dahulunya adalah Hinpunan Mahasiswa Karo Indonesia, namun kemudian berubah menjadi Himpunan Masyarakat Karo Indonesia yang berdiri di Jakarta. Sekarang di Jakarta, sepak terjang mahasiswa Karo nyaris tidak terdengar. Kalau di Medan lain lagi, walaupun saya tidak pernah aktif di perkumpulan mahasiswa Karo semasa di USU, ada banyak perkumpulan mahasiswa Karo di sana : Ersinalsal (FE), Mbuah Page (FP), Eguaninta (FISIP), Tawar Bangger (Kedokteran), Pande Kaliaga (Teknik). Hukum, MIFA dan fakultas lain saya lupa namanya. Belum lagi di universitas dan kota lain juga banyak perkumpulan mahsiswa Karo (PMK). Namun belum terlihat nyata out put ?nya, karena lebih banyak memikirkan soal GGA, setelah panitia bubar maka mati pula kegiatannya. Mungkin belakangan ada Formaken yang kritis terhadap pembalakan hutan.

Mahasiswa Karo di Bandung telah dua kali menyelenggarakan seminar. Dari sana pernah muncul ide untuk mendirikan asrama murah bagi ratusan mahasiswa Karo di Bandung, namun itu tetap saja menjadi wacana. Belum tahu siapa yang akan merealisasikan hal tersebut. Saya kira Pemda kabupaten Karo merupakan yang paling memiliki kepentingan mengenai hal ini, sebab bagai-manapun kampus adalah lahan subur untuk menciptakan peminpin-peminpin masa depan guna membangun kabupaten Karo dan masyarakat Karo secara keseluruhan.

Di internet ada mailing list Mahasiswa Karo, namun sayang kurang aktif. Apa boleh-buat acara mengenai Karo hanya ramai bila ada GGA, namun bila agak berat-berat sedikit, seperti : seminar, lomba karya tulis atau kegiatan lain peminatnya langsung drop. Saya sedikit terhibur dengan adanya wadah Permata di Jakarta dimana melalui mailing list permata-gbkp telah membuat gebrakan kecil menentang pembalakan hutan. Biar kecil mereka telah buka suara. Permata telah mampu menerbitkan majalah dengan mencari dana sendiri, Geluh (klasis Jakarta Bandung) dan Sinalsal (klasis Jakarta Bandung). Disamping itu masing-masing klasis ada BKSO (Badan Kerjasama Olahraga dan Seni), dimana pada tahap awal dahulu pernah dibeli seperangkat alat musik tradisional Karo untuk dipelajari para anggotanya. Ntah kalo sekarang?

Saya kira orang muda (mahasiswa) perlu banyak menempa diri dalam berorganisasi untuk mematangkan karakter sebelum terjun ke dunia nyata dan latihan banyak berbuat tanpa pamrih. Disana karakter seseorang akan digembleng. Bukan rahasia lagi, kalau kebanyakan peminpin adalah mantan aktivis, sebab rasa kepekaannya akan tumbuh melalui berorganisasi. Kurangnya wadah penggemblengan ini menyebabkan minimnya aktivis yang lahir dari kalangan orang muda Karo. Dulu ada Garda Sembiring seangkatan Pius Lustrilanang (?), tapi sekarang tidak kedengaran suaranya. Waktu menempuh studi di kampus merupakan waktu yang baik menempa diri. Semasa mahasiswa, selain menjadi anggota GMNI saya pernah menjadi ketua Permaikrisma (Persekutuan Mahasiswa Kristen Asrama ? asrama putra dan putri di USU). Istilahnya sering disebut ?Perbakin? alias Persatuan Batak Indekos! Anggotanya 100-an, 80% adalah orang Toba. Ketika saya terpilih menjadi ketua saya langsung mendapat kritik. "Godang do hita di son, boasa halaki dipilih?" Mengapa dia (Karo), "kan masih banyak kita disini," katanya. Itulah pelajaran pertama saya untuk tetap bertahan dan setia melangkah. Orang itu kini telah berpangkat kapten marinir dan kami tetap bersahabat baik. Ia pernah membawa saya keliling Jakarta dengan mobil jeep-nya. Agoi Amang, pengalaman memang guru yang paling baik. Ima jo tusi.

* pernah muda

Karat Biang [Satu Pujian Untuk Jusuf Sitepu]

Semasa masih remaja dulu, aku sangat gandrung dengan lagu-lagu Jusuf Sitepu. Dia adalah idolaku. Lebih dari siapa pun! Maklumlah, ruang lingkup pemetehku masih sebatas anak kuta-kuta denga. Tahun 80-an ia pernah manggung di kampung dan aku kira itulah peristiwa paling hot di seluruh dunia. Mungkin kalau sekarang ukuran beritanya sama dengan headline news di situs CNN. Sama seperti melambungnya harga minyak dunia. Mendengar garukan melody lagunya, uhh, aku berliuk-liuk berlagak laksana seorang maestro dunia mengikuti irama musiknya. Seperti misalnya, katakanlah Yngwie atawa Ian Antono. Karena penasaran pingin bisa bermain gitar seperti dia, masih SMP aku sudah punya gitar mahogani dari Peceren yang aku beli dari hasil 'korupsi' di BUMN (badan usaha milik natua-tuai). Kede Bapa maksuku! He...he..

Semua album kaset yang ada Jusuf-nya tidak mungkin aku lewatkan. Pasti kukoleksi. Setidak-tidaknya kalau gak ada di pasaran, aku pinjam punya teman lalu aku bajak sendiri tanpa takut-takut melanggar HAKI. Mulai dari Nangka Nguda sampai Nangka Tua semua ada. Bila dia buat lagu yang judulnya Nangka Macik sekali pun, pasti aku beli. Entah mengapa aku sungguh menyukai lagu-lagunya, aku sendiri pun tidak pernah mau repot memikirkannya. Yang penting aku suka dia apa adanya. The way he is! Usia tua tapi jiwa tetap muda. Penampilan cool. Tapi aku tau, aku bukan sendirian memujanya. Mulai dari preman, permotor, perpajak pagi sampai bapa-bapa per kede kopi banyak yang suka.

Lagu-lagu JS umumnya cukup sederhana. Tema-tema lagunya juga tidak pernah jauh dari persoalen ate ngena ataupun perkara antara suami dan istri atau orang tua dengan anak yang dicomot dari pengalaman hidup sehari-hari. Mudah dicerna tapi tidak cengeng, begitulah kira-kira. Mungkin lagi B.A.B. pun (maaf kurang sopan kalau dipanjangi) dia bisa ciptakan satu syair lagu. Tapi kesederhanaan itu pula yang menjadi kehebatannya. Konon katanya, orang hebat itu cuma ada dua jenis. Pertama, orang bisa membuat yang sulit menjadi simple. Contohnya Einstein dengan rumus relativitasnya. Sedangkan yang kedua adalah orang yang bisa membuat yang sederhana menjadi suatu yang luar biasa. Nah, JS tergolong ke dalam kategori yang kedua ini.

Album lagunya kebanyakan adalah ciptaannya sendiri. Ini tidak heran sebab ia sendiri pernah belajar nyeni di Jogya, makanya ada lagunya berjudul Kristina mungkin pengalaman waktu disana. Berikut petikan lagunya :

Sangana berngi nake i Jogjakarta
Kuinget lalap seh kal jilena bage
Oh Kristina.. Ohhh.. Kristina
Beru Jawa-ngku


Pengalaman asmara yang lain ditulis dalam lagu Erturang yang berakhir dramatis. Ini pengalamannya dengan beru Karo bukan beru Jawa. Kisahnya terjadi di kapal laut sewaktu pulang dari tanah perantauan. Kapal merupakan alat transportasi yang sangat maju dijamannya dulu masih anak perana pangke. Dan tentu masih sangat jarang ada singuda-nguda seangkatannya merantau. Nah disana dikisahkan ia bertemu dengan seorang gadis. Namun apa daya. Singenan tapi jumpa turang. Jumpa sumbang. Ini petikannya.

Kuinget Turang tangtang kita jumpa
Sangana mulih ku Sumatra
Kapal penumpang jadi saksi
Sangana kita erjanji
Turikendu kerna tendu ngena
Tapi Turang la banci jumpa
Tapi uga nge sibahan Turang
Kena lalap bas pusuhku
Mbera-mbera kita lanai jumpa
Kita (er) turang jumpa sumbang

(alamaaak mati aku! hehe..)

Selain banyak bernyanyi solo, ia terkenal dengan duet sejoli dengan Ulina Br Ginting. Ini mungkin sedikit mengadopsi dari musik-musik Melayu Deli yang tampil duet dan berbalas berpantun. Mendengarkan mereka bernyanyi bergantian bisa pun aku lupa mandi. Enak. Saling menunjukkan cungik pasangannya tapi kemudian ujungnya seiya-sekata. Misalnya Nangka Nguda, Ole-ole dst. Berikut petikannya :

Kugule nangka nguda
Kubaba ku Delitua
Labo man kadengku bagi kena janda muda
Adi kudat denga nguda remaja

(e...ini macam Bulang!)

Selain masalah asmara, ia juga menuliskan pengalamannya disisi yang lain seperti : Preman. Yang ia lukiskan pergumulan hidup sebagai seorang prij man (orang bebas), begini lagunya :

Lanai bo lit sirate keleng
Lanai bo lit sirate mekuah
Mama ras Mami lanai aku Kelana
Bibi Bengkila lanai aku Permenna

Bage gia nggo kugengken
Bage gia nggo kutahanken
Tukang sorong ras tukang bongkar
Enda permotor ras preman

E nari ngenca temanku arih pertibi enda

(andiko...sedih-medih sekali)

Berikutnya, yang tergolong kisah hidup yang cukup memilukan adalah peristiwa Sirang la Erbeteh. Intro-nya saja sudah membawa pendengar ke suasana hati yang gundah. Kemudian erbelas pula dia dalam bahasa yang sungguh menyentuh kalbu.

Ula kam pagi ter-nande-nande anakku
Lampas mbelin lampas gedang

(no comment any more, nggo ngandung mbelin)

Mari kita lihat lagu yang lainnya. Lagu tentang elegi JS sebenarnya jumlahnya cuma sedikit. Selebihnya kebanyakan yang menghibur hati, bahkan ada yang nyeleneh. Sekalipun ia bukan sealiran dengan grup musik AC/DC (Anti Christ Devil Child) ia tergolong berani dengan judul lagunya Legi Aku Begu. Yang lebih nyeleh lagi, yaitu : seperti judul tulisan ini Karat Biang. Nah, bagaimana Karat Biang bisa menjadi sebuah lagu, ceria yang enak didengar. Disanalah letak kelebihannya. Ini petikan lagunya :

Kudahi ku rumah merawa nandena
Kusungkun ia merawa bibina
Kubaba nangkih merawa turangna
Kucuba kiam ayak-ayak biangna
(nah lho)

Tidak ada yang istimewa dari diksi kata-katanya. Semuanya sederhana dari pengalaman orang-orang jamak. Tapi karena dipadu dengan musik sedemikian rupa lagunya menjadi enak didengar. Karena itu saya berani bilang JS itu orangnya hebat. Yah, mungkin ada orang menilai orang lain berdasakan musik apa yang dia dengar. Burung sejenis terbang bersama, kata Dale Carnigie. Adi perik temanna kabang pasti perik kange. Klas bawah temanna pe klas bawah. Musikna pe klas bawah. Nina ka. Tapi soal musik folosofi saya tidak pernah memikirkan soal kelas, tapi soal rasa. Soal rasa sulit diungkapkan dengan kata. Cubaken min dengkehken lagu Haranggaol. Lagu terakhir.

La kin ingetndu ari Turang
Sangana kita i Haranggaol
Tunduh aku bas ampundu e
Sapu-sapundu kudukku e

Kenca medak aku, sengget aku
nggo salonndu bukku e, O Turang
Gedangsa bukndue Mama Nangin
Bage me nindu agingku

La kin ingetndu ari Turang
Sanga kita ku Uruk Daholi
Putus bensin kereta e
Iah sorong Ma Nangin Nindu

Tawa kal kena ngidahsa
Nggo curucur panasku e O, Turang
Bali Buena ras panasndu
Sanga nalangi pintunna e

La kin ingetndu ari Turang
Sanga kita i Bukit Lawang
Berkat Padang Bulan nari
Ngikuti pasar singgedang e

Kuinget pe kerina
getemkal pusuh kubaba O, Turang
La sahun arihta e Nande Karo
DDS jantungku e
(dirubah dikit he.. he..)

(DDS = debet-debet sedak, bukan nama bupati kita ... )


* Dedicated to The Great Artist of Karonese Jusuf Sitepu