Saturday, March 10, 2007

Dari Gereja Yang Aktif Menjadi Gereja Yang Produktif


Dari Gereja yang Aktif menjadi Produktif
Oleh Martin L. Peranginangin

Ada satu anekdot yang berbunyi begini, ?Apa beda orang Karo dan orang Jawa bila makan durian??. Bukan saya bermaksud untuk memojokkan atau menyinggung rasa sukuisme seseorang. Dan, karena ini anekdot jawabnya juga biasanya mengundang senyum orang yang ingin tahu. Lalu, apa kira kira-jawaban atas pertanyaan itu? Begini, kalau orang Karo habis makan durian kulitnya dibuang ke jalan supaya orang lain tahu bahwa dia makan durian. Tapi kalau orang Jawa habis makan durian, kulitnya di jemur dijadikan kayu bakar. Sekalipun anekdot, ini bisa jadi mencerminkan tifikal kita masih lekat dengan sifat anceng, sementara itu suku Jawa biasa hidup hemat. Saya berandai-andai, kalau hal ini masih menjadi tabiat kebanyakan orang Karo, bisa jadi kelak orang Karo akan tertinggal jauh dengan suku Jawa di Sumut. Seberapa besar rata-rata kebutuhan hidup orang Karo dalam kehidupannya sehari-hari? Baik itu kebutuhan pendidikan, pekerjaan, sosial, kerja-kerja, atau kegiatan lainnya dibandingkan dengan suku Jawa? Saya kira kita orang Karo jauh tidak produktif dibandingkan dengan suku Jawa.

Mungkin ada diantara kita sudah mendengar atau pernah mengikuti seminar-seminar Tung Desem Waringin (TDW). Salah satu sesi seminarnya yang cukup menarik yakni mengenai game bangkrut. Dalam game bangkrut, semua peserta dibawa ke suatu tempat di Puncak, kemudian semua benda yang melekat ditubuh peserta dilucuti, seperti dompet, ATM, kartu kredit, perhiasan dll. Peserta dibiarkan hanya mengenakan pakaian tanpa apapun boleh dibawa. Seolah-olah mereka telah mengalami kebangkrutan. Mereka diberi waktu dua jam dan harus lagi kembali ke tempat seminar. Game ini menunjukkan bahwa orang-orang produktif akan tetap produktif dimana pun mereka ditempatkan. Ada yang membantu jualan bakso, membantu parkir, ada yang mengamen, dan macam-macam usaha lainnya. Setelah selesai, ada yang memperoleh Rp 15.000, ada yang sampai 700 ribu. Namun rekor yang pernah dicapai dalam seminar TDW mencapai Rp 4 juta dalam waktu dua jam. Apa kira-kira yang mereka lakukan? Perbedaan ini menunjukan bagaimana perbedaan pandangan (paradigma) kita dalam menghadapi persoalan yang sama.

Lantas kalau kita kaitkan dengan kehidupan rohani, seberapa jauhkah aktifitas rohani kita sudah produktif? Mungkin banyak diantara kita yang sangat aktif dalam beribadah, pergi ke gereja, PJJ, PA kategorial, retreat, KKR dan sebagainya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana kegiatan itu telah memberikan perubahan sikap kita dan telah memberikan makna bagi orang lain? Kita boleh diberi gelar aktivis gereja, tapi sejauh apakah sumbangsih yang sudah kita berikan bagi perkembangan gereja? Mungkin ada secara materi, ada secara pemikiran, ada dari segi waktu dan tenaga. Yah, sudah pasti ada. Andai bila yang telah melakukannya, katakanlah baru 10.000 orang dari 300.000 sebut saja demikian, maka gereja itu masih tergolong belum produktif. Bagaimana supaya setiap lini di gereja bisa memberikan nilai tambah guna kemajuan bersama? Baik di tingkat runggun, klasis sampai moderamen.

Lalu saya teringat dengan bencana banjir beberapa waktu yang lalu baik di Langkat begitu juga yang melanda DKI Jakarta serta bencana di tempat lain. Moderamen hingga runggun telah mencoba terlibat memberikan diakonia bagi saudara-saudara (jemaat GBKP) yang mengalami musibah. Tindakan ini telah memberikan sentuhan kalbu tersendiri bagi korban dan suasana demikian bisa jadi akan memberikan ingatan positif. Kapal AS, Abraham Lincoln mendarat di Aceh tidak lama setelah tsunami meluluh-lantakkan Aceh-Nias tanggal 26 Desember 2004 silam. Ini sepertinya diakoni yang terbesar yang pernah diberikan oleh negara dari luar. Sekalipun banyak yang menuduh Amerika adalah bangsa kafir, dengan ?diakoni? seperti itu akan menjadi catatan sejarah bagi negeri serambi Mekkah tersebut. Bahkan mereka lebih banyak berbuat dari negara kita sendiri di sini. Tindakan itu menyentuh kalbu yang paling dalam disaat mereka benar-benar merindukan uluran tangan. Mungkin bukan tugu yang perlu didirikan setelah banyak bantuan diberikan, karena tindakan diakonia itu sendiri telah berdiri tugu yang indah di hati para korban. Sebab di saat bencana melanda, yang diperlukan tidak cukup ungkapan bela sungkawa, tapi tindakan nyata. Seperti saat banjir kala itu, ?Yang saya butuhkan adalah nasi bungkus, bukan perhatian.? kata pendeta saya. Karena rumah pendeta tidak bisa lagi memasak dan harus mengungsi ke lantai dua, karena banjir mencapai dada orang dewasa.

Di masa depan, gereja dituntut bertindak terus lebih produktif dalam setiap pelayanan. Dalam ber-PI, seperti biasanya diidentifikasi lebih dahulu kebutuhan-kebutuhan masyarakat setempat sebelum orang yang ber-PI datang. Namun tidak hanya itu, dalam merayakan perayaan-perayaan hari besar yang lainnya juga demikian. Apakah jemaat sudah melakukan hal yang produktif? Mencapai sasaran yang hendak dicapai? Apakah dana yang terkumpul jumlahnya besar, menjadi ukuran sukses? Ketika gereja tidak lagi produktif maka ia akan menjadi garam yang tidak lagi asin, dibuang dan injak.

Seorang pejabat di Departemen Agama pernah mengatakan, di Jawa Barat ada sekitar 5% orang Kristen, tetapi penjara Sukamiskin Bandung jauh di atas 5% penghuninya orang Kristen. Apakah ini menjadi cerminan kita sekarang, sehingga banyak gereja yang ditutup karena tidak lagi menjadi garam? Kita sudah dituntut untuk menjadi Kristen yang produktif, tidak sekedar Kristen yang aktif. Ini patut kita renungkan.