Friday, August 24, 2007

Globalisasi dan Budaya Kita

Beberapa waktu yang lalu ketika pulang kampung, saya takjub dengan berbagai perkembangan yang tengah terjadi di sana. Desa yang dulunya belum disentuh telepon fix line saat ini sudah berdiri tower sebuah operator telepon selular. Lagi, anak mudanya sudah banyak juga yang bekerja ke luar negeri sebagai TKI, seperti Korea, Malaysia dsb. Era informasi sudah merambah hingga ke pelosok yang paling terpencil sekalipun. Itulah globalisasi. Orang yang tengah menyemprot jeruk atau lagi menyadap karet atau mungkin lagi me-ndodos tandan sawit bisa berinteraksi dengan siapa saja di seluruh dunia. Aksesnya sudah ada!

Informasi adalah entry point dalam era globalisasi. Tarif telepon yang cenderung turun sehingga menjangkau semakin banyak kalangan. Mobilisasi informasi tanpa batas mendorong terjadinya mobilisasi capital dan SDM. Modal dan manusia semakin leluasa masuk dan keluar batas wilayah negara. Orang-orang semakin familiar dengan berbagai perkembangan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Bumi ini seolah-olah ibarat sebuah kampung yang besar dimana warganya bebas berinteraksi, intens dan semakin cepat.


Tetapi yang tidak kalah menarik adalah dampak dari globalisasi itu sendiri. Semua aspek kehidupan tak terkecuali mengalami perubahan. Pola makan, pakaian, pekerjaan, gaya hidup, sosial, budaya ikut terkena imbasnya. Restoran cepat saji : McD, KFC. Mode yang junkis, system kerja kontrak, munculnya kelab menurut interest, sikap memandang budaya luar lebih superior dan apresiasi budaya sendiri menjadi kendor, dsb. Hal ini tidak terlepas akibat nilai-nilai yang ditawarkan era informasi melalui berbagai media yang semakin intens. Sementara itu masyarakat kurang selektif dalam memilih tawaran informasi itu. Kondisi ini bisa membawa akita ke dalam perangkap sikap serba instant. Cepat makan tanpa masak, cepat kaya tanpa kerja, cepat pintar tanpa belajar, cepat sukses tanpa usaha, dst.

Sebenarnya globalisasi itu membawa banyak sekali manfaat yang positif. Memberikan berbagai kemudahan dalam aktivitas kita. Hanya saja kesiapan mental seringkali menjadi kendala yang paling sering membawa masalah. Orang ingin tampil beda, namun akhirnya tampil ‘ceda’. Anak-anak diberi HP kamera demi gengsi, namun malah dipergunakan untuk hal negative. Berapa sering kita mendengar berita tentang pornografi, kekerasan, dan tindakan asusila lainnya bermula dari penggunaan teknologi salah kaprah. Mungkin perlu suatu aturan yang menyatakan seseorang telah layak untuk menggunakan sesuatu, seperti halnya senjata. Konon di Singapura siswa SD tidak diperkenankan menggunakan HP. Baggaimana dengan kita di sini, padahal mereka jauh lebih makmur disbanding kita di sini.


Sekali lagi Produktivitas

Satu lagi ciri dari arus globalisasi yang menderu kehidupan kita dewasa ini adalah persaingan yang super ketat. Hermawan Kartajaya menyebutnya sebagai hyper competition, dimana yang menjadi kompetitor dalam bisnis bukan lagi hanya bisnis yang sejenis. Katakan saja hotel menurun tingkat huniannya karena semakin rendahnya harga tiket pesawat, perguruan tinggi bersaing dengan semakin banyaknya lulusan sekolah menengah menjadi TKI, dsb. Dalam tingkat kompetisi individu maupun kelompok juga terjadi hal yang sedemikian rupa, tenaga kerja Indonesia dinilai cukup rendah karena kurang produktif, akan bersaing dengan tenaga kerja dari India, Vietnam, China, Filiphina dsb. Menurut survey, produktivitas tenaga kerja dari negara tersebut jauh lebih baik.

Bagaimana produktivitas kita sebagai orang Karo? Saya punya pengalaman begini. Teman saya lulusan S1, bekerja di Jakarta dengan tingkat penghasilan diatas UMR dan kemudian menikah dengan impal-nya di kampung. Orang tua yang sudah merasa berhasil, kemudian bermusyawarah menggelar pesta adat simbelinna. Semua kade-kade kahe-kolu diundang. Pesta pun meriah, dan biaya habis sekitar IDR 50 sampai 75 juta. Namun alangkah mirisnya hati, usai pesta sang anak harus mencari indekost di Jakarta dengan biaya ratusan ribu per bulan. Tentu hal ini bukan alat ukur, namun orang Karo juga salah satu suku yang paling banyak memiliki jambur. Ini menunjukkan kita doyan berpersta?!

Sebuah tulisan menjelaskan bahwa orang Betawi di Jakarta menjadi terpinggirkan akibat suka menjual tanah untuk pergi naik haji. Bagi mereka ‘haji’ merupakan symbol yang sangat membanggakan. Menggadaikan tanah adalah kebiasaan yang lazim terjadi bila mereka hendak berangkat ke Tanah Suci. Simbolisasi keagamaan pada orang Betawi mirip dengan kapitalisme budaya di orang Karo. Sehingga disaat runggu kerja adat dewasa ini, bila pesta tidak ada gendang keyboard bisa-bisa bakal sedikit orang yang datang. Padahal keyboard dan shooting vcd bukanlah budaya kita. Tentu boleh saja berpesta dengan biaya mahal dari kelimpahan harta yang ada tentunya. Namun menggali utang untuk berpesta jelas tidak bijaksana. Seproduktif apakah kita dalam bertindak? First thing first, kata Stephen R. Covey. Dahulukanlah yang utama.