Friday, June 09, 2006

SENI MENGKRITIK SENI : Santapan Rohani Perkede Kopi

Di dalam dunia seni kehadiran kritikus adalah hal yang lumrah. Kalau saya bisa sedikit berkesimpulan, seni tanpa kritik adalah keangkuhan. Di sisi lain, "Tukang kritik akan mati karena dunia yang di kritik menjadi sempurna", begitu kata seniman monolog Butet Kartaredjasa. Tidak ada lagi yang bisa dikritik. Semuah telah sempurna.

Dunia seni mirip dengan kehidupan lain yang ada di sekelilingnya. Senantiasa perlu ada kritikan. Justru krtikan merupakan vitamin yang sangat dibutuhkan guna membangun. Sebab kita sendiri tidak melihat titik lemah itu, dan hal itu terlihat jelas oleh orang lain. Dan ketika itu diutarakan, layaknya kita berterima kasih atas sesuatu yang kita sendiri lalai melihatnya.

Dulu, bagi saya musik trash metal adalah memuakkan, tapi coba tanyakan bagi penggemarnya tentu pasti berbeda ungkapannya. Wong, pulang nonton konser trash, dijalanan kepalanya masih manggut-manggut.

Sebagai seorang yang outsider, saya sendiri melihat seni itu menurut interpretasi yang saya buat sendiri, yakni sesuatu yang indah dipandang, indah didengar dan dirasakan. Nah, defenisi itu belum tentu pas bagi orang lain. Memang seni itu sepertinya tidak universal, walaupun keindahan itu universal adanya. Begini, sebelum ribut-ribut soal RUU APP, foto telanjang Anjas begitu menghebohkan karena dipandang porno. Disinalah letak seni itu kontekstual adanya. Foto Anjas yang dipajang di galeri itu pastilah barang seni karena orang yang mengunjungi pameran itu tentu ingin melihat nilai seninya. Dan orang-orang yang datang ke sana juga tentu sedikit banyaknya telah memiliki rasa seni. Berbeda jikalau foto Anjas di pajang di Pajak Sore misalnya atau terminal Pulo Gadung, dimana komunitas yang melihatnya bukan orang seni, sehingga gambar itu pun dianggap cabul. Contoh lain misalnya, gambar telanjang di dalam buku-buku ilmu kedokteran tentu bukanlah dipandang porno karena konteksnya sebagai ilmu pengetahuan, tapi bila gambar itu tanpa teks dan hanya sekedar gambar bisa jadi dikatakan porno. Itulah kontekstual seni.

Kembali ke dunia seniman. Untuk menjadi seorang pekerja seni tentu diperlukan dedikasi, sehingga orang lain yang mengamati kemudian dengan rasa hormat menganugrahkan gelar seniman. Tentu itu bukan pekerjaan yang mudah. Butuh kerja keras dan cucuran keringat bahkan air mata. "Untuk mendapatkan segenggam emas, anda harus memindahkan segunung tanah", kata Andrew Carnigie. Tak ada jalan lain. Hanya pecundang yang suka dengan jalan pintas.

Dalam suatu wawancara, Kenny G. pernah mengutarakan mengenai hal itu. Seusai konsernya yang meriah, seseorang berkata, "Wah...konser anda hebat sekali!". "Terima kasih", jawabnya. "Sebenarnya konser saya itu biasa-biasa saja", kata Kenny G, "Tetapi apa yang saya lakukan dibalik panggunglah yang luar biasa", katanya lagi. Bagaimana tidak luar biasa, sebagian besar waktunya dia curahkan hanya untuk saxsophone. Hari demi hari dilawatinya dengan latihan yang berat serta hidupannya sendiri didedikasikan untuk saxsophone. Karena itulah di mata saya seniman itu adalah dedikasi dan komitmen. Sehingga cukup menggelikkan bagi saya bila saja ada muncul seniman karbitan, seniman oplosan, seniman yang tiba-tiba saja muncul. Apalagi bila seniaman tanpa karya seni? Sama seperti seorang guru yang tidak memiliki murid, apakah layak dikatakan dia seorang guru?

Akhirnya, pembaca yang budiman, semoga anda tidak sewot membaca tulisan saya ini. Sebab, bila anda tersinggung cita-cita saya telah tercapai. Hidup kritikus! He...he...he....

(Gbr Guru Patimpus Sembiring Pelawi di Petisah, Pendiri Kota Medan)



1 comment:

Anonymous said...

tulisan yang menarik. mejuah-juah man banta kerina. bujur