Saturday, June 10, 2006

Jeruk Manis dan Pendidikan

Dalam suatu seminar yang diselenggarakan oleh mahasiswa Karo di Bandung, terungkap bahwa setiap bulan miliaran rupiah mengalir dana guna pendidikan para mahasiswa. Jumlah mahasiswa Karo di Bandung sekitar 600-an orang. Itu baru di Bandung. Sekitar 500-an ada di Jogya, serta sekitar ribuan berada di Jakarta. Bogor dan di kota lain di pulau Jawa seperti Surabaya, Malang, Semarang, dst. Mungkin mencapai 3000-an orang jumlah mahasiswa Karo yang menuntut ilmu di pulau Jawa. Kalau biaya rata-rata antara 300.000-600.000 per orang sebulan, berarti lebih satu miliar dana yang mengalir untuk pendidikan mahasiswa Karo di pulau Jawa sebulannya. Bukan suatu angka yang sedikit. Tapi apakah angka itu menunjukkan semangat orang tua dalam menyekolahkan anaknya? Dan peran apa yang telah disumbangkan para sarjana dan mahasiswa membangun kampung halamannya dibandingkan dana yang telah banyak ditransfer dari Sumatera ke Jawa?

Prof. DR. R.K. Sembiring, seorang Guru Besar Matematika ITB Bandung mengatakan, semangat orang tua Karo jaman dahulu untuk menyekolahkan anaknya sangatlah tinggi. Sekalipuin profesi mereka umumnya cuma petani tetapi selalu berusaha memberikan pendidikan anaknya hingga perguruan tinggi. Supaya anaknya menjadi orang! Mungkin hingga berhutang, ?tergade buni-bunin?, bahkan sampai menjual tanah. Prof. Sembiring mencontohkan orang tuanya yang sangat gigih. Sejak kelas 3 SD ia telah ditinggal ayahnya, sehingga ibunya menjadi single parent baginya dan saudara-saudaranya. Tapi berkat keuletan sang ibu akhirnya beliau bisa meraih sarjana, bahkan menjadi seorang Profesor. Suatu prestasi yang cukup dibanggakan.

Namun melihat kondisi pendidikan terutama mahasiswa Karo dewasa ini, telah terjadi sedikit pergeseran motivasi dalam memperoleh pendidikan. Bagi sebagian orang mungkin ungkapan not to be but to get sesuai dengan kondisi saat ini. Artinya, mereka mencari pendidikan tinggi bukan mencari ilmu sebagai prioritas utamanya, namun sekedar untuk meraih gelar atau mungkin untuk mencari seseorang sarjana (teman hidup sarjana). Atau lebih pasnya, demi status sosial. Akibatnya, mahasiswa (sarjana Karo) ada yang terlibat suap-menyap dalam mengejar bangku PTN, dan rajin menyogok dosen setelah menjadi mahasiswa. Akhirnya dalam mencari kerja juga harus pakai uang karena sudah terbiasa sejak dini. Sebab ilmu bukan yang mereka cari, tapi cuma status sosial. Padahal orang seperti itu kalaupun masuk kerja tidak memiliki standard ilmu yang seharusnya ia miliki. Sebab menjadi sarjana bukan sekedar titel, tetapi pola hidup dan cara pikir yang membedakannya dari yang tidak sarjana. Mungkin saja seorang insinyur menjadi seorang petani di desa, tentu cara bercocok tanamnya berbeda dengan orang kebanyakan. Ingat Jimmy Carter. seorang petani bisa menjadi Presiden Amerika.

Lebih lanjut, kurangnya kontrol dari orang tua terhadap anaknya di kota, sehingga ada yang terjerumus dengan narkoba dan pergaulan bebas. Apalagi bila nilai-nilai agama kurang diajarkan di keluarga, sehingga sangat rentan dengan akibat buruk pergaulan di kota. Sehingga ada yang menjadi mahasiswa abadi. Untuk itu, perlu kontrol orang tua yang lebih baik atau ada keluarga/temannya yang dapat diharapkan memberikan masukan perkembangan anaknya setiap saat.
Masalah lain yang cukup menarik adalah, setelah menyelesaikan study banyak sarjana yang enggan bekerja sesuai dengan disiplin ilmunya. Saya melihat, ada lulusan IPB Bogor lebih tertarik menjadi sales di kota daripada mengembangkan ilmunya di desa. Mungkin akibat terbiasa dengan pergaulan kota sehingga enggan pulang ke desa, tetapi juga karena masyarakat memandang negatif bila seorang sarjana harus bercocok tanam di desa. Akibat dari fenomena ini adalah proses pembangunan di desa menjadi lebih lambat akibat minimnya tenaga ahli di desa. Kita ambil contoh Tanah Karo, dimana pertanian telah dikembangkan oleh Tuan Botje seorang penyuluh pertanian dari NZG sejak awal 1900. Artinya sudah sekitar satu abad pertanian di tanah Karo, tetapi hingga kini petani masih lebih banyak tetap menjadi petani, bukan menjadi eksportir atau pengusaha agribisnis. Kalaupun ada sirup markisah, pabrik dan pemasarannya masih dikuasai oleh etnis Cina. Dimana peran sarjana dan mahasiswa dalam mengubah jeruk manis menjadi produk lain? Sebagai imbalan dana miliaran rupiah yang setiap bulan mengalir ke pulau Jawa.

Ke depan, dalam menghadapi otonomi daerah peran sarjana dan mahasiswa Karo haruslah nyata. Munculnya kelas menengah yang lebih banyak tentu lebih berpotensi dari kalangan terdidik, dan berwiraswasta merupakan salah satu jembatan menuju ke arah sana. Bukan menunyuap 60-75 juta supaya bisa menjadi pegawai negeri. Cara pikir seperti itu adalah pemalas dan sudah sangat ketinggaln jaman. Bayangkan dengan menyuap 60-75 juta, berarti penyogok bersedia bekerja sekitar 5 tahun tanpa gaji dan siap menjadi sapi perahan. Mengapa uang itu tidak digunakan untuk memulai suatu bisnis baru. Berbisnis jauh lebih berpeluang hidup sejahtera dari pada pegawai negeri dengan suap. Sebab prospek ke depan dalam menjadikan lebih banyak kelas menengah adalah melalui sektor bisnis. Apalagi menyuap itu adalah perbuatan kriminal dan dosa. Selamat mencoba. Dimana ada kemauan disitu ada jalan.

(Gbr: Karo SBY, Presiden dalam Mburo Ate Tedeh, JHCC 2007)














(Maranatha 2004)

No comments: