Friday, July 14, 2006

Kepemimpinan Orang Karo

Tulisan ini sekedar sebuah sumbangan pemikiran menyongsong Sidang Sinode GBKP yang akan berlangsung dalam waktu dekat ini (2005). Melihat perubahan sosial di sekitar kita semakin deras dan kemajuan teknologi modern semakin tak terbendung. Bagaimanakah gereja menyikapi perubahan itu? Salah satu hal yang menurut saya cukup penting adalah mengenai kepeminpinan dan organisasi. Tahun 60-an sampai 70-an ketika ada warga Karo yang merantau ke pulau Jawa bisa jadi diantar orang sekampung, namun realitas saat ini seorang petani jeruk di Berastagi pagi-pagi berangkat ke Jakarta dan sore harinya sudah kembali ke Berastagi lagi. Hampir tidak ada hambatan waktu dan tempat lagi. Bagaimana dengan lima sampai tiga puluh tahun ke depan?
Struktur sosial dan kebutuhan masyarakat terus berubah semakin cepat yang harus mampu di kuasai atau setidaknya diantisipasi oleh siapa saja, terlebih organisasi gereja harus ramping sehingga gesit dan mampu melangkah lebih lincah di masa depan.




Ada satu pandangan tentang kepeminpinan yang menyatakan begini, 'Bila kamu mampu merubah cara bekerja orang lain, berarti kamu bisa dipercaya menjadi peminpin di level manager. Tapi bila kamu mampu merubah paradigma, itulah esensi menjadi seorang peminpin yang sesungguhnya.' Begitu kata seorang pembicara dalam sebuah talk show tentang kepeminpinan. Di masyarakat kita ternyata ada paradigma bahwa agama itu tidak perlu atau belum perlu, maka tugas para peminpin agama adalah merubah itu.



John Maxwell mengatakan kepeminpinan adalah pengaruh. Seorang peminpin adalah orang yang memiliki pengaruh dan mampu memanfaatkan pengaruhnya supaya orang lain melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan. Pengaruh itu bisa timbul karena kemampuan, kharisma, persamaan pandangan, latar belakang, pendidikan, dsb. Namun dalam konteks gereja hal itu belum tentu sepenuhnya pendapat itu benar. Karena perbedaan nilai-nilai yang diemban dalam tugas gereja dan dunia sekuler. Gereja berfungsi sebagai perpanjangan tangan Tuhan untuk menggembalakan umat-Nya di dunia, oleh karena itu kepeminpinan gereja tentu tidak akan mengelompokkan yang 'pro' dan yang 'kontra', tetapi semua umat manusia menjadi objek dari penggembalan itu. Yesus sebagai pemimpin jemaat mula-mula dahulu tidak melakukan 'fit and proper test' dalam memilih murid-muridnya. Ia bahkan mencari orang yang tidak layak dijadikan peminpin untuk ukuran dunia, seperti nelayan. Mengapa? Mungkin salah satu jawabannya adalah karena pelayanan merupakan 'pengorbanan' bukan pengaruh, sekalipun pengaruh juga diperlukan. Adakah pemimpin rela berkorban dalam pelayanan jemaat Tuhan?



Orang Karo ternyata merindukan seorang peminpin yang berpengaruh. Sewaktu presiden SBY mengumumkan susunan kabinet Indonesia Bersatu, beberapa media masyarakat Karo langsung memberi selamat, bahkan ada yang memandang perlu di buat pesta syukuran besar atas terpilihnya Malem Sambat Kaban (sebelumnya dikenal dengan Pak MS Ka'ban). Padahal kemunculan Pak Kaban sendiri dapat dikatakan baru belakangan ini di kancah masyarakat Karo. Kopetensi dan paham yang dianut seseorang menjadi kabur ketika seseorang haus akan pemimpin sebagai figur idola. Contoh lain juga terjadi sewaktu Kolonel Djamin Gintings diangkat menjadi Pangdam I Bukit Barisan setelah tercium adanya gejala separatis di Sumatera oleh Kolonel Simbolon dan cs-nya. Kolonel Djamin Gintings merupakan orang Karo yang paling dekat ke pusat kekuasaan saat itu sehingga ditabuhlah gendang lige-lige suatu gendang kebesaran masyarakat Karo menandakan sabugan sudah berkokok. Ini merupakan ucapan Djamin Gintings yang sangat populer dikalangan orang Karo, "Sada gia sabugan, egia gelah terkuak!", katanya.



Dua peristiwa diatas dapat dianalogikan bahwa masyarakat Karo membutuhkan seorang peminpin yang berpengaruh bukan yang rela berkorban. Kalau begitu bagai mana dengan pelayanan gereja yang acap kali dituntut untuk berkorban: latih, keri, meling, dung (LKMD).




Di sisi lain pola kepeminpinan dalam masyarakat Karo di lain pihak juga sangat dipengaruhi oleh budaya dan adat kebiasaan, dimana kepeminpinan masyarakat Karo terjadi secara bersama (together) atau dengan kata lain saling bergantian posisi: kalimbubu, senina, anak beru, sehingga tidak terjadi secara permanen. Sekalipun dahulu ada Sibayak yang dituakan di suatu wilayah tetapi peran di dalam kelompok lebih utamakan sistem peradatan. Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa meminpin orang Karo sangat sulit, karena menganggap dirinya adalah 'peminpin semua'. Meminpin satu orang Karo sama dengan meminpin 100 orang lain, begitu pernah ditulis seorang guru di Kabanjahe. Jadi untuk menjadi Ketua Moderamen dengan jemaat sekitar 300 ribu jiwa mungkin identik dengan jabatan gubernur atau kepala departemen atau seorang mentri (?).

Budianto Surbakti mantan Ketua Permata Klasis Jakarta akhir tahun 1990-an, pernah mengatakan bahwa sangat sulit menerima pujian dari orang Karo. Dahulu ia masih mahasiswa di UI bolak-balik ke Sumur Batu naik kereta dari Depok sering berdiri, dan kunjungan ke daerah-daerah untuk memberikan pelayanan, namun yang sering dijumpai adalah kritikan bukan simpati. Mungkin hal ini salah satu sebabnya mengapa tidak ada pejuang Karo yang bergelar seorang pahlawan hingga sampai tahun 2005, (baru tahun 2005 Kiras Bangun diangkat Presiden SBY sebagai pahlawan nasional). Itu karena rendahnya apresiasi kita terhadap perjuangan orang Karo dahulu. Padahal, taman makam pahlawan di Kabanjahe konon merupakan taman makam pahlawan yang paling besar (banyak) menyimpan jasad kesuma bangsa di Sumatera Utara.




Karakteristik kepeminpinan yang cendrung berkiblat kepada pengaruh dapat memberi dampak perkembangan organisasi yang 'gemuk' di atas dan 'kurus' di tingkat jemaat. Hal ini bisa menjadi ancaman di kemudian hari, karena organisasi terlalu gemuk di tingkat atas akan lamban dalam mengambil keputusan strategis dan alokasi dana bisa jadi kurang efisien. Dalam pandangan saya yang perlu dikembangkan adalah peningkatan otonomi di runggun-runggun, sebab pelayanan yang riil kebanyakan ada di tingkat runggun. Konsentrasi pelayanan di tingkat runggun memerlukan prioritas pengembangan ke depan dan diberikan otonomi lebih besar, dalam arti runggun-runggun diberi peran lebih besar supaya lebih cepat mandiri. Dewasa ini dari lebih 700 buah gereja GBKP dan ada lebih dari separuh belum memiliki pendeta. Ketertinggalan itu yang perlu dikejar dan pembentukan klasis baru yang cendrung memperpanjang birokrasi dan menjadi 'perlombaan posisi' perlu pertimbangkan lebih matang dahulu. Selain itu pemanfaatan dana juga harus lebih efisien. Sehingga runggun yang semakin otonom dapat meningkatkan partisipasi dan rohani jemaat. Konon Gereja Kristen Indonesia (GKI) sudah lama menerapkan hal ini. Seorang pendeta jemaat jauh lebih populer dibandingkan dengan Ketua Sinodenya. Artinya apa? Seorang pelayan di tingkat jemaat lebih mengakar ketimbang Ketua Sinode karena merekalah yang lebih sering dan lebih dekat dengan anggotanya, dan lebih mengenal kebutuhan gerejanya ketimbang Ketua Sinode. Peran pengurus pusat mungkin lebih kepada hal-hal yang mendasar dan bersifat kontrol daripada hal-hal seremonial.


(Menyongsong Sidang Sinode GBKP 2005, Maranatha. Gbr: Tugu Bung Karno di Berastagi)

No comments: